Maret 2012

PENERAPAN KONSEP TOD (TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT) PADA KEBIJAKAN POLITIK TATA GUNA LAHAN DAN TRANSPORTASI DALAM PEMBANGUNAN KOTA JAKARTA


I.                   Latar Belakang
Ada fenomena menarik yang dapat disimak di Jakarta saat ini, terutama lima tahun terakhir. Di satu pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang giat membangun transportasi massal seperti Busway Transjakarta guna mengurangi kemacetan kota, tapi pada pihak lain selama lima tahun terakhir tumbuh beberapa bangunan komersial yang menjulang tinggi di pusat kota atau di wilayah yang sudah padat dengan aktivitas komersial. Kehadiran bangunan-bangunan komersial baru itu secara otomatis menimbulkan bangkitan lalu lintas yang cukup signifikan, sehingga menjadi magnet terjadinya kemacetan baru di pusat kota. Fenomena itu akan terus muncul karena masih ada beberapa lahan kosong di Jakarta. Bagi pemilik kapital, tanah itu adalah modal utama untuk melakukan akumulasi kapital yang lebih banyak lagi. Maka di mana ada lahan kosong, di sana akan dibangun pusat komersial baru.
Usaha untuk mengoptimalkan penggunaan lahan-lahan kosong bukan hanya didorong oleh kepentingan akumulasi kapital saja, tapi juga tekanan politik dari Pusat. Kebijakan Pemerintah untuk membangun seribu rumah susun sewa misalnya, berdampak langsung terhadap kebijakan pembangunan fisik di Kota Jakarta. Sebagai ibu kota, Jakarta tidak dapat mengelak dari kewajiban untuk ikut mewujudkan kebijakan Pemerintah tersebut. Dalam realitasnya di lapangan, beberapa lokasi di Jakarta sudah dipatok akan dibangun rumah susun sewa, hingga 25 tingkat, seperti misalnya di Kemayoran, Cengkareng, Daan Mogot (dua unit), Kota Modern, Kebun Jeruk, Ciledug, Bintaro, Kelapa Gading, Penggilingan, Cawang, Kalimalang, Kalibata, Pulo Gebang, Kebagusan, Cipayung, dan Cibubur (http://www.tempo.co/)
Penetapan kebijakan pembangunan rumah susun sewa yang akan dibangun di wilayah Kota Jakarta itu menunjukkan, pembangunan Kota Jakarta tidak semata-mata ditentukan berdasarkan pertimbangan teknis tata kota saja, tapi yang lebih dominan adalah pertimbangan politik. Pertimbangan tersebut mampu memaksa terjadinya perubahan tata kota, meskipun secara teknis sebetulnya tidak rasional atau tidak layak. Fenomena seperti itu, selama ini cukup dominan mempengaruhi arah kebijakan pembangunan Kota Jakarta.
Sama halnya dengan kehadiran bangunan-bangunan komersial yang menjamur selama lima tahun terakhir, kehadiran rumah susun sewa tersebut akan berkontribusi pada terjadinya bangkitan lalu lintas di Jakarta. Sebab para penghuni rumah susun sewa yang terdiri dari banyak orang itu pasti akan melakukan mobilitas geografis, entah sifatnya temporer atau rutin pagi-sore.
Jadi kebijakan pembangunan rumah susun sewa di Jakarta maupun pembangunan tempat-tempat komersial lainnya itu, bertolak belakang dengan kebijakan pembangunan moda transportasi massal. Sebab yang satu mencoba menawarkan alternatif untuk mengurangi kemacetan, yang lain menghadirkan kemacetan baru melalui pergerakan para penghuninya. Tidak ada argumen yang cukup untuk menjelaskan bahwa bangunan-bangunan baru tersebut tidak akan menimbulkan bangkitan baru pada lalu lintas Jakarta, karena faktanya, bangunan baru itu butuh penghuni, baik yang sifatnya menetap maupun ulang alih, keduanya akan sama-sama memerlukan ruang dan waktu untuk melakukan pergerakan. Rencananya, bangunanbangunan baru tersebut berada di bibir jalan yang selama ini menjadi pusat kemacetan.
II.                Penerapan Konsep TOD (Transit Oriented Development) pada kebijakan politik tata guna lahan dan transportasi dalam pembangunan Kota Jakarta
Kemacetan (congestion), keterlambatan (delay), polusi udara, polusi suara, dan pemborosan energi merupakan sebagian dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi suatu kota berkaitan dengan masalah transportasi. Permasalahan ini berkaitan erat dengan pola tata guna lahan, karena sektor ini sangat berperan dalam menentukan kegiatan dan aktivitas pergerakan yang terjadi.
Permasalahan ini bila tidak segera ditangani dengan suatu sistem dan solusi yang tepat, akan dapat            memperbesar dampak dan permasalahan yang ditimbulkan serta pemborosan penggunaan energi yang sia-sia. Untuk memberikan alternatif pemecahan yang tepat, maka diperlukan suatu sistem pendekatan yang tepat pula yang mencakup seluruh aspek yang terkait.
Menuru (www.bisnis.com) Fenomena pembangunan gedung-gedung baru di Jakarta akan terus berlangsung seiring dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangkah Menengah (RPJM) 2004 – 2009. Rencana pemerintah yang tertuang dalam RPJM tersebut menargetkan pembangunan rumah mencapai 1,34 juta unit. Target ini mencakup pembangunan 60.000 unit rusunawa, 25.000 unit rusunami, dan 1,26 juta unit rumah tinggal. Pemda DKI Jakarta, termasuk salah satu Pemda yang harus menjalankan kebijakan Pemerintah, sehingga mau tidak mau harus membangun unit gedung baru yang bersifat vertical, mengingat pembangunan horizontal tampaknya tidak memungkinkan lagi. Sedangkan para developer swasta juga melakukan investasi secara besar-besaran di tengah Kota Jakarta, seperti misalnya St.Moritz (Rp. 11 triliun), Kemang Village (Rp. 12 triliun), Ciputra Mall (Rp. 14 triliun), Kuningan City (Rp. 6 triliun), Kota Casablanca (Rp. 7 triliun), dan Gandaria City (Rp. 6,5 triliun).
Pembangunan gedung – gedung baru tersebut akan mempengaruhi lalu lintas kota Jakarta itu sendiri, seperti yang kita ketahui saat ini kota Jakarta sudah kian padatnya karena penduduk kota sendiri enggan untuk menggunakan transportasi umum dan lebih memilih menggunakan kendaraaan pribadi, disamping juga moda sarana transportasi kota Jakarta saat ini masih tergolong kurang relevan guna menunjang aktivitas penduduk kota Jakarta yang semakin kompleks setiap harinya.
Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di Kota Jakarta biasanya ditimbulkan karena kebutuhan transportasi lebih besar dibandingkan prasarana transportasi yang tersedia atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya Ada beberapa faktor penyebab macet di Jakarta (http://infoindonesia.wordpress.com/2007/11/08/sumber-kemacetan-di-jakarta/):
  1. Waktu lampu hijau yang begitu cepat. Sering baru 4-5 mobil yang berjalan lampu sudah kembali merah. Padahal antrian bisa mencapai 1 km atau sekitar 200 mobil. Untuk hal ini mungkin solusinya adalah memperpanjang waktu lampu hijau di tiap tempat jadi 1,5 atau 2 menit. Contoh kemacetan ini adalah di lampu merah pertigaan jalan Otista III dengan Otista Raya.
  2. Banyaknya kendaraan angkutan (terutama mikrolet dan metromini) yang berhenti menunggu penumpang. Nah ini perlu kesiagaan polantas untuk mengatur mereka. Contohnya adalah di dekat terminal Kampung Melayu
  3. Pedagang kaki lima yang meluber ke jalan. Nah ini perlu ditertibkan
  4. Pintu masuk jalan Tol. Antrian kendaraan untuk membayar jalan tol sering membuat macet. Contohnya di pintu masuk Tol Tebet Barat 2 yang membuat macet sampai ke jalan layang ke arah Mampang. Sementara pintu tol Semanggi juga menimbulkan kemacetan yang sama parahnya. Harusnya pada jam macet jalan tol digratiskan saja sehingga tidak ada antrian bayaran yang membuat macet. Atau bisa juga pembayaran bukan di pintu masuk. Tapi di pintu keluar tol. Sehingga antrian pembayaran tidak memacetkan pengguna jalan lainnya karena masih berada di jalan tol.
  5. Jalur busway yang memakan jalur umum. Busway memang mempercepat bus busway. Namun memacetkan kendaraan lain di jalur non busway karena memakan satu jalurumum. Di jalan yang hanya ada 2 jalur, maka Busway memakan separuh jalur. Tak heran di daerah yang ada jalur Busway seperti Thamrin-Sudirman dan sekarang jalan Otista jadi sangat macet. Mau naik busway? Saat ini saja penumpang sudah berdiri berdesakkan.
  6. Pada titik macet seperti perempatan Pancoran dan Kuningan, harus diperlebar 1 jalur sepanjang 500 meter. Kemudian beri jalan layang minimal 2 jalur sehingga untuk yang lurus terhindar dari kemacetan lampu merah. Tahun 2008 kemacetan menyebabkan kerugian sebesar Rp 28 trilyun. Jadi biaya untuk mengurangi kemacetan lebih kecil dibanding dampaknya.
.
            Menurut Repplogle,(2006) Di dunia transportasi dikenal istilah yang namanya Transit Oriented Development (TOD), yaitu suatu konsep pembangunan transportasi yang bersinergi dengan tata ruang guna mengakomodasi pertumbuhan baru dengan memperkuat lingkungan tempat tinggal dan perluasan pilihan maupun manfaat, melalui optimalisasi jaringan angkutan umum massal, seperti bus dan kereta api, sehingga mempermudah warga kota untuk mengakses sumber daya kota. Di sini ada banyak kepentingan yang dipertemukan: di satu pihak keinginan pemilik gedung untuk dikunjungi banyak orang terpenuhi, di pihak lain warga dapat mengakses fasilitas kota dengan mudah, pemerintah kota tidak terbebani resiko kemacetan baru, pengelola angkutan umum massal juga gembira karena load factor moda angkutannya meningkat. Tujuan dari TOD adalah untuk memperpendek perjalanan dan membuat perjalanan lebih efisien karena semua pusat kegiatan diletakkan di sepanjang jalur angkutan massal sehingga aksesibilitas warga makin tinggi. Hal itu karena struktur bangunannya tidak terlalu lebar, penduduknya cukup (untuk tidak dibilang padat), dan kawasan itu mix use (tidak hanya satu zona): ada zona bisnis, perkantoran, fasilitas umum, dan fasilitas sosial sehingga orang dapat melakukan aktivitas dan mencukupi kebutuhannya dalam kawasan tersebut. Setelah turun dari kereta api atau bus mereka dapat berjalan dengan nyaman maksimal 10 menit untuk mengakses sumber daya kota. Atau bila mereka akan bepergian, cukup berjalan maksimal 10 menit dari rumah menuju stasiun. Hal itu terjadi karena dalam TOD ada ketersediaan aktivitas bisnis keseharian dalam jarak pejalan kaki di sekitar stasiun, ketersediaan fasilitas pejalan kaki sebagai fasilitas transfer dengan angkutan umum massal dan perekat antar bangunan, serta disain bangunan yang menyatu dengan fasilitas pejalan kaki dan angkutan umum.
Beberapa elemen yang perlu diperhatikan dalam perencanaan TOD adalah adanya tata guna lahan dengan mengkonsentrasikan aktivitas yang terkait dengan angkutan umum, membuat pencampuran tata guna lahan sehingga dapat membuat pergerakan dengan menggunakan angkutan umum dan mendukung angkutan dengan adanya perdagangan, dan adanya kampanye berjalan kaki. Kunci dalam perencanaan transportasi supaya membuat angkutan umum lebih nyaman adalah adanya integrasi tata guna lahan, kepadatan, konektivitas, urban design, akses angkutan umum dan lahan parkir.
III.             Simpulan
Pembangunan yang bersifat komersil hendaknya perlu dikaji lebih lanjut oleh pemerintah Kota Jakarta, pemerintah pusat yang selama ini hanya memfokuskan pada pembangunan yang bersifat komersil harus didukung oleh peningkatan sarana transportasi yang memadai karena dikhawatirkan bangkitan arus lalu lintas kota Jakarta kian memburuk, untuk itu salah satu konsep yang mungkin harus dikembangkan adalah TOD (Transit Oriented Development) dimana TOD yaitu suatu konsep pembangunan transportasi yang bersinergi dengan tata ruang guna mengakomodasi pertumbuhan baru dengan memperkuat lingkungan tempat tinggal dan perluasan pilihan maupun manfaat, melalui optimalisasi jaringan angkutan umum massal, seperti bus dan kereta api, sehingga mempermudah warga kota untuk mengakses sumber daya kota. Di sini ada banyak kepentingan yang dipertemukan: di satu pihak keinginan pemilik gedung untuk dikunjungi banyak orang terpenuhi, di pihak lain warga dapat mengakses fasilitas kota dengan mudah, pemerintah kota tidak terbebani resiko kemacetan baru, pengelola angkutan umum massal juga gembira karena load factor moda angkutannya meningkat


PUSTAKA


Alan Black, 1995, Urban Mass Tansportation Planning, McGraw-Hill, Inc., hal.383 – 384
Michael Repplogle, 2006, “Enabling High Performance Transit-Oriented Development”, presentasi di
MTI, Jakarta September

KEBERADAAN PERMUKIMAN LIAR DALAM TATA RUANG KOTA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dewasa ini adalah pertumbuhan penduduk yang sangat pesat terutama pada daerah perkotaan. Meningkatnya jumlah penduduk kota ini terjadi bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk kota secara alamiah tetapi juga akibat arus perpindahan penduduk dari desa ke kota. Migrasi dari desa ke kota berkembang pesat karena kurangnya pembangunan di desa akibat dari sentralisasi pembangunan di kota dan daya tarik ekonomi serta status sosial kota yang lebih tinggi.
Perpindahan penduduk dari desa ke kota tersebut tidak diimbangi oleh ketersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan para migran, sehingga mempengaruhi perekonomiannya. Kondisi perekonomian yang tidak memadai memaksa  penduduk memanfaatkan lahan kosong seperti jalur-jalur hijau dan daerah pinggiran sungai untuk membangun tempat bermukim. Permukiman liar di sepanjang pinggiran sungai di perkotaan banyak dijumpai terutama karena sungai dianggap dapat memenuhi beberapa kebutuhan seperti kebutuhan akan lahan/tempat tinggal serta kebutuhan akan air. Pemukim membangun tempat tinggal di sepanjang pinggiran sungai yang seharusnya dibiarkan kosong karena memang peruntukannya sebagai ruang terbuka hijau. Pemukim di sana dengan mudah dapat memanfaatkan air sungai, baik untuk minum, memasak, mandi, mencuci bahkan sungai sebagai tempat buang kotoran dan buang sampah.
Permukiman liar juga dijumpai di tanah-tanah negara yang kosong atau bangunan-bangunan yang terbengkalai dan dibiarkan tak bertuan, di bawah jalan layang atau di taman-taman kota. Akhir-akhir ini bahkan banyak dijumpai di lokasi pemakaman. Pemukim membangun rumah seadanya sebagai tempat berlindung, yang tentunya merusak pemandangan dan keindahan kota. Keberadaan mereka di sana terutama karena kota dianggap mudah untuk mengakses pekerjaan dan mereka tetap bertahan sepanjang tidak ada pelaksanaan penggusuran.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
1.2.1        Bagaimana permukiman liar dapat terbangun?
1.2.2        Bagaimana pengaruh permukiman liar terhadap tata ruang kota?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1        Untuk mengetahui proses terbangunnya permukiman liar.
1.3.2        Untuk mengetahui pengaruh permukiman liar terhadap tata ruang kota.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetian Permukiman dan Permukiman Liar
Undang Undang  Republik Indonesia No. 4 Tahun 1992 Bab V Pasal 2 menyebutkan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan menurut Hadi Sabari Yunus dalam Astra (2010), permukiman dapat diartikan sebagai bentukan baik buatan ataupun alami dengan segala kelengkapannya yang digunakan manusia sebagai individu maupun kelompok untuk bertempat tinggal baik sementara maupun menetap dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya.
Settlement atau permukiman menurut Finch (1957) dalam Astra (2010), adalah kelompok satuan-satuan tempat tinggal atau kediaman manusia mencakup fasilitasnya, seperti: bangunan rumah, serta jalur, dan fasilitas lain yang digunakan sebagai sarana pelayanan manusia tersebut. Batasan ini tampaknya lebih mengarah pada arti permukiman sebagai kelompok satuan kediaman orang atau manusia pada satu wilayah tidak hanya berupa rumah tempat tinggal tetapi mencakup pula fasilitas yang diperlukan untuk menunjang kehidupan penghuninya.
Menurut J.F.C Turner (1990) dalam Tari Budayanti (2003) proses pembangunan permukiman dilaksanakan dengan model-model sebagai berikut:
1.      System produksi yang konvensional (dilaksanakan terpusat oleh lembaga-lembaga formal) disebut sebagai Centrally Administrated or Heteronomuos Housing System. Proses pembangunan perumahan dengan sistem ini, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan/pembangunan hingga tahap pengelolaan dilakukan oleh lembagalembaga formal (baik pemerintah maupun swasta). Pemerintah dan swasta memegang peranan yang sangat besar dalam proses pembangunan, sedangkan penghuni dianggap sebagai objek.
2.      Sistem produksi non konvensional (dilakukan oleh masyarakat) disebut sebagai Locally Self Governing or Autonomous Housing System. Perencanaan, pelaksanaandan pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat. Dalam pendekatan ini pembangunan perumahan lebih dilihat sebagai suatu proses yang saling berkaitan antara rumah dengan penghuninya, baik dalam pemenuhan kebutuhan sosial, seperti pengaruh yang ditimbulkan dalam hal kesejahteraan, cara hidup, kesehatan dan sebagainya. Peran pemerintah lebih bersifat sebagai pemberdaya (enabler).
Tipologi permukiman berdasarkan provisi permukiman dibedakan menjadi dua, yaitu : (1) Permukiman konvensional merupakan permukiman yang sesuai dengan standar, diakui keberadaannya, serta memiliki izin atau legal. (2) Sedangkan permukiman non-konvensional merupakan permukiman yang sub standar. Konvensional yang terdiri dari permukiman umum, permukiman pribadi dan permukiman hibrida. non-konvensional yang terdiri dari permukiman liar, permukiman kumuh dan permukuman hibrida.(Indra Christiawan, 2011)
Pada dasarnya ada 3 (tiga) karakteristik yang dapat menolong dalam mendefinisikan permukiman liar (Srinivas, 2007) dalam Anonim (2011) yaitu :
a.       Karakteristik Fisik :
Suatu permukiman liar, karena memiliki status illegal maka infrastruktur dan pelayanan (baik jaringan maupun sosial) yang ada tidak memadai atau berada pada tingkat minimum, seperti penyediaan air, sanitasi, listrik, jalan dan drainase, sekolah, pusat kesehatan, tempat perbelanjaan, dll. Sebagai contoh, penyediaan air untuk setiap rumah tangga dapat dikatakan tidak ada, atau pipa umum yang tersedia sedikit, sehingga pemukim mempergunakan jaringan kota atau pompa tangan sendiri bahkan menyediakan jaringan informal untuk menyediakan air di tempat. Hal serupa berlaku untuk jaringan listrik, drainase, fasilitas toilet/kamar mandi/WC, dll dimana kecilnya ketergantungan pada saluran formal pemerintah.
b.      Karakteristik Sosial :
Kebanyakan rumah tangga permukiman liar termasuk ke dalam kelompok berpenghasilan rendah, baik bekerja sebagai buruh bergaji maupun dalam usaha-usaha sektor informal lain yang bervariasi. Tetapi terdapat juga rumah tangga berpenghasilan lebih tinggi seperti penghasilan pekerjaan bergaji atau pekerjaan paruh waktu. Permukiman liar umumnya didominasi oleh migran, baik desa-kota atau kota-kota. Namun banyak juga dari generasi kedua atau generasi ketiga pemukim liar tersebut.
c.       Karakteristik Legal :
Ini merupakan karakteristik kunci yang menggambarkan suatu permukiman liar yakni ketiadaan hak milik terhadap lahan yang dipergunakan untuk membangun rumah. Hal ini dapat terjadi pada lahan kosong milik pemerintah atau umum, di sebidang tanah seperti bantaran rel kereta api, atau tanah rawa-rawa. Kemudian ketika lahan tersebut tidak dipergunakan oleh pemiliknya, maka diambil oleh pemukim liar untuk membangun rumah. Bahkan di beberapa bagian negara di Asia, seorang “pemilik tanah“ dapat “menyewakan” lahannya untuk suatu pembangunan kepada sebuah/beberapa keluarga dengan perjanjian informal atau pura-pura legal, yang bagaimanapun itu tidak sah secara hukum.

2.2  Pengertian Tata Ruang Kota
Tata ruang kota penting dalam usaha untuk efisiensi sumberdaya kota dan juga efektifitas penggunaannya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya lainnya. Ruang-ruang kota yang ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai berbagai pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem transportasi, dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan dengan permasalahan utama perkotaan yang akan dicari solusinya juga dikaitkan dengan pencapaian tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan kotanya.(Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, 2005)



BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Proses Terbangunnya Permukiman Liar
Permukiman liar terbentuk karena adanya proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Proses pertambahan permukiman liar di perkotaan terjadi melalui dua proses, yaitu proses invasi dan proses infiltrasi.
A.    Proses invasi adalah proses yang terjadi secara cepat yg dilakukan oleh sekelompok orang untuk menempati suatu wilayah. Dimana proses invasi ini berawal dari adanya fenomena bencana seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi, perang dan lain sebagainya. Dengan adanya fenomena tersebut maka penduduk terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya dan mencari tempat yang lebih aman untuk mengungsi. Proses pengungsian ini berlangsung secara masal dan menepati daerah atau lokasi yang aman walaupun tidak diperuntukan sebagai tempat untuk bermukim. Proses invasi yang terjadi dalam kelompok besar mengakibatkan pembangunan permukiman tersebut berlangsung cepat.
B.     Proses infiltrasi adalah proses yang dilakukan oleh orang-perorang dengan inisiatif sendiri dan berlangsung secara lambat. Proses infiltrasi ini biasanya dilakukan oleh individu yang melakukan migrasi dari desa ke kota karena adanya daya dorong dan daya tarik. Daya dorongnya yaitu keterbatasan lapangan pekerjaan, keterbatasan jasa dan fasilitas serta akses yang rendah. Daya tarik perkotaan yaitu akses yang tinggi, sait yang prestis, banyak terdapat jasa, banyak terdapat fasilitas. Individu yang melakukan migrasi tersebut memilih bermukim di lokasi yang dekat dengan lapangan kerja dan memanfaatkan lahan atau bangunan yang kosong tanpa izin sebagai tempat tinggal dikarenakan perekonomiannya yang rendah.
Terbentuknya permukiman liar tersebut dipengaruhi juga oleh beberapa faktor.Faktor-faktor yang mempengaruhi terbangunnya permukiman liar seperti pertumbuhan ekonomi yang lambat, peraturan pemerintah kota yang setengah hati, program pembangunan perumahan rakyat yang tak berjalan mulus, sosial ekonomi, pendidikan dan keahlian, aksesibilitas, pengawasan tanah kurang ketat, kurangnya pengetahuan dan kesadaarn hukum, dan ketersediaan lahan.
1.      Pertumbuhan Ekonomi yang Lambat
Pertumbuhan penduduk yang pesat jika tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi negara yang juga pesat akan berdampak kepada munculnya tingkat kemiskinan rakyat. Rakyat akan sulit mendapatkan pekerjaan sehingga kualitas kehidupannya akan menurun pula. Rakyat akan sulit membangun rumah secara layak, mahalnya biaya pendidikan juga sulitnya pemenuhan gizi keluarga yang baik. Situasi itu memaksa rakyat mendekati sentra perekonomian di kota-kota besar tanpa memperhitungkan akan dimana mereka bermukim. Dalam benak mereka berteduh adalah masalah yang tidak perlu ideal yang terpenting mereka bisa makan dan bertahan hidup, di kolong jembatan atau pinggir kali sekalipun.
2.      Peraturan Pemerintah Kota yang Setengah Hati
Seharusnya pemerintah kota sudah bisa membagi-bagi area kota sesuai peruntukkannya. Pembagian kualitas area kota sesuai tata ruang tersebut semestinya didukung dengan perundangan yang tegas. Jika sebuah area belum sempat dibangun sesuai peruntukkannya maka jangan sampai wilayah tersebut dipakai sementara untuk peruntukkan lainnya, apalagi membiarkan pihak lain secara ilegal menggunakan lahan kosong tersebut. Banyak area kosong dibiarkan oleh dinas tata kota ditempati secara ilegal oleh penduduk yang datang musiman. Setelah sekian lama mereka bisa membuat KTP bahkan dilayani oleh PLN untuk penyambungan listrik secara resmi.Tentu ini pekerjaan oknum pemerintah yang seharusnya bisa ditindak tegas.Selayaknya mereka tidak bisa mendapatkan KTP di kawasan pemukiman ilegal dan layanan listrik resmi. Kerasan, itulah yang mereka rasakan dan akan berteriak jika ada pihak-pihak yang akan mengusik keberadaan mereka di kawasan pemukiman ilegal tersebut.
3.      Program Pembangunan Perumahan Rakyat yang Tak Berjalan Mulus
Pemerintah melalui dinas terkait selayaknya mempunyai program pintar dalam menyediakan fasilitas perumahan atau pemukiman bagi rakyat. Program tersebut haruslah bijaksana dan menyentuh seluruh kemampuan strata ekonomi rakyat. Setiap perkotaan tentu akan berbeda dalam programnya, hal itu tergantung dari tingkat ekonomi kerakyatan yang dominan di kota tersebut. Tidak mungkin menyediakan Real Estate di sebuah kota yang tingkat perekonomian penduduknya masih dibawah rata-rata. Justru perumahan sederhana namun manusiawilah yang banyak dibutuhkan penduduk kota itu. Untuk perkotaan yang sudah maju sebaiknya pembagian area perumahan diterapkan.Tidak bisa menyatukan pemukiman mewah dengan pemukiman sederhana. Selain dampak kesenjangan sosial juga akan memicu ketegangan sosial pula. Pola hidup yang sudah jauh berbeda tidak bisa begitu saja disatukan dalam kesatuan wilayah pemukiman.Pemisahan itu bukanlah membedakan mereka tetapi justru memberikan peluang bagi pemukiman sederhana untuk bisa lebih berkembang di kemudian hari. Pembangunan rumah sederhana masih jauh mencukupi dibandingkan permintaan penduduk akan ketersedian perumahan di perkotaan.
4.      Sosial Ekonomi
Pada umumnya banyak penduduk yang mempunyai tingkat pendapatan rendah karena terbatasnya akses terhadap lapangan pekerjaan.Pendapatan yang rendah ini mempengaruhi daya beli penduduk dan mengurangi akses pelayanan sarana dan prasarana dasar penduduk.Ketidakmampuan social ekonomi, dapat mendorong masyarakat menempati lahan kosong milik pemerintah atau milik public yang dapat dikatakan sebagai hunian illegal atau liar.
5.      Pendidikan dan Keahlian
Pendidikaan dan keahlian adalah salah satu faktor penentu dalam hal pencapaian pekerjaan dan pendapatan.Banyak migran tidak dapat bekerja dengan standar yang ditetapkan karena pendidikan dan keahlian yang dimilikinya rendah. Persaingan dalam mencari pekerjaan sangat tinggi dan menuntut profesionalisme, pendidikan dan keahlian yang berstandar serta dapat bersaing dengan orang lain. Persaingan seperti ini semakin menekan penduduk yang pendidikan dan keterampilannya kurang dalam mencari pekerjaan, dampak dari akumulasi kejadian ini akan memunculkan pengangguran yang semakin bertambah setiap tahunnya.
6.      Aksesibilitas
Aksesibilitas juga dapat menjadi faktor terbentuknya permukiman liar.Terbatasnya akses penduduk miskin terhadap capital komunitas seperti capital terbangun, individu dan social, serta lingkungan alam. Capital terbangun ini meliputi informasi, jalan, sanitasi, runag terbuka, perumahan, bangunan pelayanan public, dan sebagainya. Capital individu meliputi kesehatan, pendidikan, kemampuan dan keterampilan. Capital social meliputi koneksitas dalam suatu komunitas. Capital lingkungan alam meliputi sumber daya alam dan estetika alam.
7.      Pengawasan Tanah Kurang Ketat
Pengwasan tanah yang kurang ketat merupakan penyebab bertambahnya permukiman liar di perkotaan, karena banyaknya lahan kosong di perkotaan yang biasanya iperuntukan lainnya yang sebenarnya sudah direncanakan akan dibangun suatu gedung untuk mendukung kegiatan suatu kota. Mereka yang tidak mengerti akan hal tersebut dengan keadaan ekonomi yang lemah atau dengan penghsilan yang rendah membangun rumah di tempat-tempat kosong tersebut.

8.      Kurangnya Pengetahuan dan Kesadaarn Hukum

Kurangnya pengetahuan dan kesadaran akan hukum yang menyebabkan mereka membangun rumah seenaknya. Mereka tidak mengetahui akibat dari yang mereka lakukan itu membuat lingkungan menjadi kotor dan lingkungan menjadi terancambahkan merugikan banyak pihak.



9.      Ketersediaan Lahan

Lahan merupakan sumber daya alam yang bersifat langka terlebih di wilayah perkotaan dan lahan merupakan salah satu komponen pokok pembangunan fisik di wilayah perkotaan yang sedianya semakin terbatas seiring dengan tuntutan kebutuhan yang semakin bertingkat. Di wilayah perkotaan permasalahan lahan semakin kompleks. Laju pertumbuhan penduduk yang berlangsung pesat tentunya menuntut berbagai fasilitas bagi kehidupan dan penghidupan. Pada gilirannya tuntutan penyediaan fasilitas tersebut bermuara pada meningkatnya permintaan lahan. Pada hal di lain pihak ketersediaan lahan perkotaan terutama lahan kosong sulit diperoleh. Dengan keterbatasan lahan dan pertambahan penduduk di perkotaan maka akan terjadi persaingan untuk mendapatkan sebidang tanah dijadikan perumahan. Dengan harga lahan yang tinggi mereka yang berpenghasilan rendah tidak sanggup membeli rumah karena harga rumah yang sekarang cukup mahal.


3.2  Pengaruh Permukiman Liar dalam Tata Ruang Kota

Permukiman liar, secara umum didefinisikan sebagai suatu kawasan permukiman yang terbangun pada lahan kosong “liar” di kota baik milik swasta ataupun pemerintah tanpa hak yang legal terhadap lahan dan/atau izin dari penguasa yang membangun, didiami oleh orang yang sangat miskin yang tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap.
Keberadaan permukiman liar memberi dampak negatif terhadap tata ruang kota, secara umum dampak yang diakibatkan adalah degradasi lingkungan hidup dan degradasi kehidupan sosial. Degradasi lingkungan hidup ini merupakan penurunan kualitas lingkungan itu sendiri. Masalah – masalah yang timbul dapat dilihat dari ruang terbuka hijau yang semakin berkurang, drainase semakin buruk, sirkulasi terganggu, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat.
1.      Ruang Terbuka Hijau Berkurang
Berkurannya Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat mengganggu fungsi RTH  secara ekologis, dimana secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota.
2.      Drainase Semakin Buruk
Permukiman yang tidak dirancang dengan baik akan mengganggu sistem drainase di daerah permukiman itu sendiri, dimana drainase ini berfungsi sebagai saluran penyerapan air ke dalam tanah, yang pada akhirnya akan mengakibatkan banjir di daerah tersebut.
3.      Sirkulasi Terganggu
Sirkulasi transportasi di suatu daerah akan terganggu jika permukiman liar berada pada jalur- jalur transportasi, seperti jalur kereta api dan pinggir jalan tol.
4.      Tingkat Kesehatan Masyarakat Menurun
Areal yang difungsikan sebagai permukiman liar tersebut, bukanlah lahan pribadi yang dimiliki oleh pemukim. Secara tidak langsung, rasa bertanggung jawab dari pemukim tersebut sangat kurang, maka dari itu kualitas lingkungan di daerah tersebut sangat rendah. Kualitas lingkungan yang rendah ini dapat mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat semakin menurun.
Degradasi kehidupan sosial merupakan suatu penurunan kualitas kehidupan sosial yang dialami oleh penduduk atau masyarakat sebagai penghuni permukiman liar, yang termasuk didalam degradasi kehidupan sosial adalah meningkatnya kriminalitas, dan bertambahnya pengemis di lingkungan tersebut.
1.      Kriminalitas Meningkat
Individu yang tinggal di permukiman liar tersebut, sebagia besar berasal dari desa dan cenderung individu yang datang tidak mempunyai kemampuan atau kemampuannya kurang. Hal ini dapat mempengaruhi individu tersebut dalam mendapatkan pekerjaan. Dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, akan mempengaruhi pola pikir individu tersebut menjadi keras, jika individu tersebut tidak berhasil dalam mendapatkan pekerjaan, secara tidak langsung mereka terpancing untuk melakukan tindakan kriminal.


2.      Bertambahnya Pengemis
Skill dan pendidikan yang rendah, tidak mampu bersaing akan mendorong penghuni dari permukiman liar yang ada di perkotaan untuk melakukan aktivitas mengemis.


BAB IV
PENUTUP

4.1  Simpulan
1.      Permukiman liar terbentuk karena adanya proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Proses pertambahan permukiman liar di perkotaan terjadi melalui dua proses, yaitu proses invasi dan proses infiltrasi. Terbentuknya permukiman liar tersebut dipengaruhi juga oleh beberapa faktor.Faktor-faktor yang mempengaruhi terbangunnya permukiman liar seperti pertumbuhan ekonomi yang lambat, peraturan pemerintah kota yang setengah hati, program pembangunan perumahan rakyat yang tak berjalan mulus, sosial ekonomi, pendidikan dan keahlian, aksesibilitas, pengawasan tanah kurang ketat, kurangnya pengetahuan dan kesadaarn hukum, dan ketersediaan lahan.
2.      Keberadaan permukiman liar memberi dampak negatif terhadap tata ruang kota, secara umum dampak yang diakibatkan adalah degradasi lingkungan hidup dan degradasi kehidupan sosial. Degradasi lingkungan hidup ini merupakan penurunan kualitas lingkungan itu sendiri. Masalah – masalah yang timbul dapat dilihat dari ruang terbuka hijau yang semakin berkurang, drainase semakin buruk, sirkulasi terganggu, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Dan degradasi kehidupan sosial merupakan suatu penurunan kualitas kehidupan sosial yang dialami oleh penduduk atau masyarakat sebagai penghuni permukiman liar, yang termasuk didalam degradasi kehidupan sosial adalah meningkatnya kriminalitas, dan bertambahnya pengemis di lingkungan tersebut.

4.2  Saran
Adapun saran dari penulis, agar kita secara bersama – sama dengan pihak terkait  dapat mengatasi permasalahan tentang permukiman liar yang ada di daerah perkotaan agar tidak menimulkan dampak – dampak negatif. Dan bagi permukiman liar yang baru muncul atau terus berkembang dari waktu ke waktu sebaiknya langsung ditertibkan guna mencegah hal – hal negatif yang dapat merugikan semua pihak. Serta perlu adanya kesadaran dan upaya bersama guna meningkatkan kualitas tata ruang kota, agar terwujud kota dengan permukiman yang teratur dan berkualitas dan bersifat legal.

Windows 8

Well setelah sekian lama microsoft mengumumkan bahwa akan mengeluarkan Windows 8 sebagai penerus dari Windows 7 akhirnya kini windows 8 sudah bisa kita nikmatin secara gratis melalui windows 8 consumer preview, tidak ada salahnya untuk mencoba lebih awal seperti apakah user interface windows 8 dengan Metro yang menjadi andalannya.
seperti yang saya kutip dari Kompas Tekno bahwa Windows 8 akan tersedia dalam 9 edisi atau versi Kesembilan versi tersebut meliputi:
- Windows 8 Starter Edition
- Windows 8 Home Basic Edition
- Windows 8 Home Premium Edition
- Windows 8 Professional Edition
- Windows 8 Professional Plus - Edition
- Windows 8 Enterprise Edition
- Windows 8 Enterprise Evaluation Edition
- Windows 8 Ultimate Edition
- Windows 8 ARM Edition



Dibandingkan dengan Windows 7 yang dikeluarkan dalam 7 edisi, Microsoft menambah tiga edisi baru di Windows 8. Edisi yang ditambah adalah Professional Plus, Enterprise Evaluation, dan ARM Edition.
Ok ....bagi yang ingin merasakan windows 8 consumer preview silahkah download disini http://preview.windows.com/

Twitter Client

Twitter merupakan salah satu situs microblogging yang sangat digemari oleh beberapa kalangan, tampilannya yang simple membuat semua kalangan menyukainya, tak hanya sebatas untuk pertemanan, kadang kala pengguna twitter menggunakan twitter sebagai media promosi, media bisnis bagi perusahaan maupun usaha perseorangan, popularitas twitter memang tidak diragukan lagi, dilihat dari banyaknya artis - artis dunia yang mempunyai account twitter, perlu saya garis bawahi bahwa adanya account resmi dari artis - artis tersebutlah yang secara tidak langsung mengangkat popularitas twitter.
Situs twitter sendiri menurut saya memang sangat menarik, namun untuk penggemar twitter tidak ada salahnya menggunakan twitter client!, apa itu twiiter client?? twitter client merupakan aplikasi 3 pharty yang memudahkan pengguna twitter dalam mengakses serta memanage account mereka.
berikut merupakan twitter client yang saya rekomendasikan :


1. MetroTwit : Tampilannya yang simple serta proses refreshing TL yg cepat merupakan hal yang saya sukai  dari aplikasi ini, disamping itu juga kita bisa menulis lebih dari 140 karakter tanpa harus repot pada saat quote tweet hehehe, penasaran mau nyoba? download disini!












2.Tweetdeck by Twitter : satu langkah maju yang diambil oleh twitter adalah mengakuisisi tweetdeck yang dulu hanya bisa dijanlkan dengan menggunakan AIR.(adobe AIR) namun hal ini sudah diantisipasi twitter.inc dengan mengeluarkan tweetdeck by twitter yang menurut saya tampilannya tidak jauh berbeda dengan versi terdahulu, tweetdeck memungkinkan penggunanya untuk mengakses lebih dari 1 acoount twitter dan account lain seperti facebook dll. well ....aplikasi ini layak untuk dicoba, untuk download bisa download disini!

Postingan Lebih Baru Postingan Lama