PENERAPAN KONSEP TOD (TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT) PADA KEBIJAKAN POLITIK TATA GUNA LAHAN DAN TRANSPORTASI DALAM PEMBANGUNAN KOTA JAKARTA


I.                   Latar Belakang
Ada fenomena menarik yang dapat disimak di Jakarta saat ini, terutama lima tahun terakhir. Di satu pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang giat membangun transportasi massal seperti Busway Transjakarta guna mengurangi kemacetan kota, tapi pada pihak lain selama lima tahun terakhir tumbuh beberapa bangunan komersial yang menjulang tinggi di pusat kota atau di wilayah yang sudah padat dengan aktivitas komersial. Kehadiran bangunan-bangunan komersial baru itu secara otomatis menimbulkan bangkitan lalu lintas yang cukup signifikan, sehingga menjadi magnet terjadinya kemacetan baru di pusat kota. Fenomena itu akan terus muncul karena masih ada beberapa lahan kosong di Jakarta. Bagi pemilik kapital, tanah itu adalah modal utama untuk melakukan akumulasi kapital yang lebih banyak lagi. Maka di mana ada lahan kosong, di sana akan dibangun pusat komersial baru.
Usaha untuk mengoptimalkan penggunaan lahan-lahan kosong bukan hanya didorong oleh kepentingan akumulasi kapital saja, tapi juga tekanan politik dari Pusat. Kebijakan Pemerintah untuk membangun seribu rumah susun sewa misalnya, berdampak langsung terhadap kebijakan pembangunan fisik di Kota Jakarta. Sebagai ibu kota, Jakarta tidak dapat mengelak dari kewajiban untuk ikut mewujudkan kebijakan Pemerintah tersebut. Dalam realitasnya di lapangan, beberapa lokasi di Jakarta sudah dipatok akan dibangun rumah susun sewa, hingga 25 tingkat, seperti misalnya di Kemayoran, Cengkareng, Daan Mogot (dua unit), Kota Modern, Kebun Jeruk, Ciledug, Bintaro, Kelapa Gading, Penggilingan, Cawang, Kalimalang, Kalibata, Pulo Gebang, Kebagusan, Cipayung, dan Cibubur (http://www.tempo.co/)
Penetapan kebijakan pembangunan rumah susun sewa yang akan dibangun di wilayah Kota Jakarta itu menunjukkan, pembangunan Kota Jakarta tidak semata-mata ditentukan berdasarkan pertimbangan teknis tata kota saja, tapi yang lebih dominan adalah pertimbangan politik. Pertimbangan tersebut mampu memaksa terjadinya perubahan tata kota, meskipun secara teknis sebetulnya tidak rasional atau tidak layak. Fenomena seperti itu, selama ini cukup dominan mempengaruhi arah kebijakan pembangunan Kota Jakarta.
Sama halnya dengan kehadiran bangunan-bangunan komersial yang menjamur selama lima tahun terakhir, kehadiran rumah susun sewa tersebut akan berkontribusi pada terjadinya bangkitan lalu lintas di Jakarta. Sebab para penghuni rumah susun sewa yang terdiri dari banyak orang itu pasti akan melakukan mobilitas geografis, entah sifatnya temporer atau rutin pagi-sore.
Jadi kebijakan pembangunan rumah susun sewa di Jakarta maupun pembangunan tempat-tempat komersial lainnya itu, bertolak belakang dengan kebijakan pembangunan moda transportasi massal. Sebab yang satu mencoba menawarkan alternatif untuk mengurangi kemacetan, yang lain menghadirkan kemacetan baru melalui pergerakan para penghuninya. Tidak ada argumen yang cukup untuk menjelaskan bahwa bangunan-bangunan baru tersebut tidak akan menimbulkan bangkitan baru pada lalu lintas Jakarta, karena faktanya, bangunan baru itu butuh penghuni, baik yang sifatnya menetap maupun ulang alih, keduanya akan sama-sama memerlukan ruang dan waktu untuk melakukan pergerakan. Rencananya, bangunanbangunan baru tersebut berada di bibir jalan yang selama ini menjadi pusat kemacetan.
II.                Penerapan Konsep TOD (Transit Oriented Development) pada kebijakan politik tata guna lahan dan transportasi dalam pembangunan Kota Jakarta
Kemacetan (congestion), keterlambatan (delay), polusi udara, polusi suara, dan pemborosan energi merupakan sebagian dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi suatu kota berkaitan dengan masalah transportasi. Permasalahan ini berkaitan erat dengan pola tata guna lahan, karena sektor ini sangat berperan dalam menentukan kegiatan dan aktivitas pergerakan yang terjadi.
Permasalahan ini bila tidak segera ditangani dengan suatu sistem dan solusi yang tepat, akan dapat            memperbesar dampak dan permasalahan yang ditimbulkan serta pemborosan penggunaan energi yang sia-sia. Untuk memberikan alternatif pemecahan yang tepat, maka diperlukan suatu sistem pendekatan yang tepat pula yang mencakup seluruh aspek yang terkait.
Menuru (www.bisnis.com) Fenomena pembangunan gedung-gedung baru di Jakarta akan terus berlangsung seiring dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangkah Menengah (RPJM) 2004 – 2009. Rencana pemerintah yang tertuang dalam RPJM tersebut menargetkan pembangunan rumah mencapai 1,34 juta unit. Target ini mencakup pembangunan 60.000 unit rusunawa, 25.000 unit rusunami, dan 1,26 juta unit rumah tinggal. Pemda DKI Jakarta, termasuk salah satu Pemda yang harus menjalankan kebijakan Pemerintah, sehingga mau tidak mau harus membangun unit gedung baru yang bersifat vertical, mengingat pembangunan horizontal tampaknya tidak memungkinkan lagi. Sedangkan para developer swasta juga melakukan investasi secara besar-besaran di tengah Kota Jakarta, seperti misalnya St.Moritz (Rp. 11 triliun), Kemang Village (Rp. 12 triliun), Ciputra Mall (Rp. 14 triliun), Kuningan City (Rp. 6 triliun), Kota Casablanca (Rp. 7 triliun), dan Gandaria City (Rp. 6,5 triliun).
Pembangunan gedung – gedung baru tersebut akan mempengaruhi lalu lintas kota Jakarta itu sendiri, seperti yang kita ketahui saat ini kota Jakarta sudah kian padatnya karena penduduk kota sendiri enggan untuk menggunakan transportasi umum dan lebih memilih menggunakan kendaraaan pribadi, disamping juga moda sarana transportasi kota Jakarta saat ini masih tergolong kurang relevan guna menunjang aktivitas penduduk kota Jakarta yang semakin kompleks setiap harinya.
Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di Kota Jakarta biasanya ditimbulkan karena kebutuhan transportasi lebih besar dibandingkan prasarana transportasi yang tersedia atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya Ada beberapa faktor penyebab macet di Jakarta (http://infoindonesia.wordpress.com/2007/11/08/sumber-kemacetan-di-jakarta/):
  1. Waktu lampu hijau yang begitu cepat. Sering baru 4-5 mobil yang berjalan lampu sudah kembali merah. Padahal antrian bisa mencapai 1 km atau sekitar 200 mobil. Untuk hal ini mungkin solusinya adalah memperpanjang waktu lampu hijau di tiap tempat jadi 1,5 atau 2 menit. Contoh kemacetan ini adalah di lampu merah pertigaan jalan Otista III dengan Otista Raya.
  2. Banyaknya kendaraan angkutan (terutama mikrolet dan metromini) yang berhenti menunggu penumpang. Nah ini perlu kesiagaan polantas untuk mengatur mereka. Contohnya adalah di dekat terminal Kampung Melayu
  3. Pedagang kaki lima yang meluber ke jalan. Nah ini perlu ditertibkan
  4. Pintu masuk jalan Tol. Antrian kendaraan untuk membayar jalan tol sering membuat macet. Contohnya di pintu masuk Tol Tebet Barat 2 yang membuat macet sampai ke jalan layang ke arah Mampang. Sementara pintu tol Semanggi juga menimbulkan kemacetan yang sama parahnya. Harusnya pada jam macet jalan tol digratiskan saja sehingga tidak ada antrian bayaran yang membuat macet. Atau bisa juga pembayaran bukan di pintu masuk. Tapi di pintu keluar tol. Sehingga antrian pembayaran tidak memacetkan pengguna jalan lainnya karena masih berada di jalan tol.
  5. Jalur busway yang memakan jalur umum. Busway memang mempercepat bus busway. Namun memacetkan kendaraan lain di jalur non busway karena memakan satu jalurumum. Di jalan yang hanya ada 2 jalur, maka Busway memakan separuh jalur. Tak heran di daerah yang ada jalur Busway seperti Thamrin-Sudirman dan sekarang jalan Otista jadi sangat macet. Mau naik busway? Saat ini saja penumpang sudah berdiri berdesakkan.
  6. Pada titik macet seperti perempatan Pancoran dan Kuningan, harus diperlebar 1 jalur sepanjang 500 meter. Kemudian beri jalan layang minimal 2 jalur sehingga untuk yang lurus terhindar dari kemacetan lampu merah. Tahun 2008 kemacetan menyebabkan kerugian sebesar Rp 28 trilyun. Jadi biaya untuk mengurangi kemacetan lebih kecil dibanding dampaknya.
.
            Menurut Repplogle,(2006) Di dunia transportasi dikenal istilah yang namanya Transit Oriented Development (TOD), yaitu suatu konsep pembangunan transportasi yang bersinergi dengan tata ruang guna mengakomodasi pertumbuhan baru dengan memperkuat lingkungan tempat tinggal dan perluasan pilihan maupun manfaat, melalui optimalisasi jaringan angkutan umum massal, seperti bus dan kereta api, sehingga mempermudah warga kota untuk mengakses sumber daya kota. Di sini ada banyak kepentingan yang dipertemukan: di satu pihak keinginan pemilik gedung untuk dikunjungi banyak orang terpenuhi, di pihak lain warga dapat mengakses fasilitas kota dengan mudah, pemerintah kota tidak terbebani resiko kemacetan baru, pengelola angkutan umum massal juga gembira karena load factor moda angkutannya meningkat. Tujuan dari TOD adalah untuk memperpendek perjalanan dan membuat perjalanan lebih efisien karena semua pusat kegiatan diletakkan di sepanjang jalur angkutan massal sehingga aksesibilitas warga makin tinggi. Hal itu karena struktur bangunannya tidak terlalu lebar, penduduknya cukup (untuk tidak dibilang padat), dan kawasan itu mix use (tidak hanya satu zona): ada zona bisnis, perkantoran, fasilitas umum, dan fasilitas sosial sehingga orang dapat melakukan aktivitas dan mencukupi kebutuhannya dalam kawasan tersebut. Setelah turun dari kereta api atau bus mereka dapat berjalan dengan nyaman maksimal 10 menit untuk mengakses sumber daya kota. Atau bila mereka akan bepergian, cukup berjalan maksimal 10 menit dari rumah menuju stasiun. Hal itu terjadi karena dalam TOD ada ketersediaan aktivitas bisnis keseharian dalam jarak pejalan kaki di sekitar stasiun, ketersediaan fasilitas pejalan kaki sebagai fasilitas transfer dengan angkutan umum massal dan perekat antar bangunan, serta disain bangunan yang menyatu dengan fasilitas pejalan kaki dan angkutan umum.
Beberapa elemen yang perlu diperhatikan dalam perencanaan TOD adalah adanya tata guna lahan dengan mengkonsentrasikan aktivitas yang terkait dengan angkutan umum, membuat pencampuran tata guna lahan sehingga dapat membuat pergerakan dengan menggunakan angkutan umum dan mendukung angkutan dengan adanya perdagangan, dan adanya kampanye berjalan kaki. Kunci dalam perencanaan transportasi supaya membuat angkutan umum lebih nyaman adalah adanya integrasi tata guna lahan, kepadatan, konektivitas, urban design, akses angkutan umum dan lahan parkir.
III.             Simpulan
Pembangunan yang bersifat komersil hendaknya perlu dikaji lebih lanjut oleh pemerintah Kota Jakarta, pemerintah pusat yang selama ini hanya memfokuskan pada pembangunan yang bersifat komersil harus didukung oleh peningkatan sarana transportasi yang memadai karena dikhawatirkan bangkitan arus lalu lintas kota Jakarta kian memburuk, untuk itu salah satu konsep yang mungkin harus dikembangkan adalah TOD (Transit Oriented Development) dimana TOD yaitu suatu konsep pembangunan transportasi yang bersinergi dengan tata ruang guna mengakomodasi pertumbuhan baru dengan memperkuat lingkungan tempat tinggal dan perluasan pilihan maupun manfaat, melalui optimalisasi jaringan angkutan umum massal, seperti bus dan kereta api, sehingga mempermudah warga kota untuk mengakses sumber daya kota. Di sini ada banyak kepentingan yang dipertemukan: di satu pihak keinginan pemilik gedung untuk dikunjungi banyak orang terpenuhi, di pihak lain warga dapat mengakses fasilitas kota dengan mudah, pemerintah kota tidak terbebani resiko kemacetan baru, pengelola angkutan umum massal juga gembira karena load factor moda angkutannya meningkat


PUSTAKA


Alan Black, 1995, Urban Mass Tansportation Planning, McGraw-Hill, Inc., hal.383 – 384
Michael Repplogle, 2006, “Enabling High Performance Transit-Oriented Development”, presentasi di
MTI, Jakarta September

Posting Lebih Baru Posting Lama

Leave a Reply